Mentari pagi menyambut hari baru.Menyinari
bumi tempat manusia berpijak.Sekarang sudah pukul 6 lebih 15
menit.Orang-orang terlihat memulai aktifitasnya. Termasuk Dinda. Ia
sedang berkaca diri di cermin. Tiba-tiba mama Dinda masuk ke kamar.
“sayang,
Rendy udah datang tuh” ujar Mama Dinda. “oh, iya ma. Bentar lagi Dinda
turun” ujar Dinda.Mama Dinda tersenyum lalu keluar. Dinda segera
mengambil tas ranselnya dan keluar.
“Kak Agung ke mana, Ma?” ujar
Dinda sambil bergegas memakai sepatunya. “udah berangkat dari jam 6
tadi” jawab Mama Dinda. “oohh. Rajin amat . Yaudah aku berangkat ya, Ma!
God Bless” ujar Dinda sambil mencium tangan mamanya. “iya, Nak!
Hati-hati” jawab Mama Dinda.
Dinda segera menuju pintu pagar. Ternyata Rendy sudah ada di depan
pagar. Begitu melihat Mama Dinda, Rendy langsung menganggukkan kepala
dan memberi senyum pada Mama Dinda.Mama Dinda membalasnya dengan
senyuman juga.Sebelum berangkat Dinda melambaikan tangan pada
mamanya.Mamanya pun membalas lambaian itu.Kemudian Dinnda menarik tangan
Rendy dan mereka berangkat.
“pa, anakmu sudah besar semua” ujar Mama
Dinda lirih lalu masuk ke rumah. Papa Dinda sudah meninggal 2 tahun
lalu.Tepatnya saat Brenda kelas 2 SMP dan kakak Dinda,Agung,kuliah
jurusan arsitek semester 3.Semenjak itu, Mama Dinda kerja keras untuk
menghidupi keluarganya.Alhasil, kini Mama Dinda memiliki satu Butik yang
terkenal dan satu restoran.Sangat cukup untuk biaya hidup mereka
bertiga.
Sedangkan Rendy adalah sahabat Dinda semenjak ia masuk SMA.
Sewaktu MOS, Rendy melihat Dinda menangis dipojokan kelas. Rendy
menghampirinya dan berusaha menenangkannya.Ia bertanya ada apa dengan
Dinnda. Namun Dinda tetap diam. Semenjak Papa nya meninggal, Dinda sudah
kehilangan senyumnya. Dan ia tidak mau bercerita kepada siapapun.
Namun entah kenapa, kehadiran Rendy membuat Dinda merasa tenang.Ia
merasa Rendy adalah orang yang baik dan bisa dipercaya. Setelah lama
membujuk, akhirnya Dinda menceritakan semua masalah dan latar belakang
keluarganya.Semenjak itu mereka menjadi sahabat sampai hari ini.Mama
Dinda pun senang dengan kehadiran Rendy.Karena kehadirannya, putrinya
kini bisa mendapatkan senyumnya lagi.
“udah siap ulangan, Ren?” Tanya
Dinda. “kalo nggak siap, bisa end gue sama Pak Hardi” ujar Rendy. Dinda
hanya nyengir.Rendy dan Dinda memang terbiasa berangkat sekolah
bersama.Selain karena bersahabat, jarak rumah mereka juga tidak terlalu
jauh.Dan mereka terbiasa jalan kaki karena jarak sekolah mereka juga
tidak jauh.
Rendy dan Dinda bersama.Sudah bukan hal baru bagi teman-teman
mereka.Meski Rendy dan Dinda pernah berkata bahwa mereka nggak
pacaran.Tetap saja teman-temannya mnganggap mereka berpacaran dan terus
menggoda mereka.Seperti pagi ini saat mereka tiba di sekolah.
“yaakk.
Pasangan Ren-Da-sebutan untuk Rendy dan Dinda-sudah
datang.Jengjengjeng” ujar salah seorang siswa.Rendy dan Dinda tetap
cuek.Mereka lalu duduk di bangku-kebetulan mereka juga sebangku.Tak
lama, bel masuk pun berbunyi.Semua siap menghadapi ulangan Kimia dari
Pak Hardi.
**
Bel istirahat berbunyi.Semua siswa-siswi berhamburan keluar
kelas.Mendadak Dinda merasakan nyeri di kepalanya.Ia merebahkan
kepalanya di meja. Rendy yang hendak keluar kelas jadi mengurungkan
niatnya.
“lo kenapa?” Tanya Rendy. Dinda segera menegakkan kepalanya
dan menggeleng pelan. “boong! Muka lo pucet gitu nggak mungkin nggak
kenapa-kenapa.Pasti belom makan. Ke kantin yuk. Makan dulu” ujar Rendy
sambil mengulurkan tangannya.Dinda tersenyum tipis lalu mendapat uluran
tangan itu.
Baru selangkah ia berjalan. Nyeri di kepalanya semakin
menjadi-jadi.Terasa sakit dan menyiksa.Matanya mulai berkunang-kunang.Ia
roboh. Pandangannya semakin kabur. Sebelum semuanya menjadi gelap, ia
mendengar suara seseorang memanggil namanya. Suara yang sangat ia
rindukan. “papa” ujarnya lirih. Siut.Dinda tak sadarkan diri.
**
“Din” Dinda tersentak.Ia segera bangun. Anehnya, ia tidak tau ia
berada di mana. “halo? Ada orang?” ujarnya. Tapi ia tak mendengar suara
siapapun kecuali pantulan suaranya sendiri.
“Din” terdengar suara
dari belakang Dinda.Ia segera menoleh. Seketika air matanya jatuh.
“papa” ujar Dinda lirih. Papa Dinda hanya tersenyum.Air mata Dinda
semakin deras. “papa apa kabar? Pa, aku kangen” ujar Dinda lagi.
“papa
sangat baik, Nak!” ujar Papa Dinda. “Din, sudah waktunya kamu kasih tau
ke orang-orang tentang keadaanmu.Supaya kamu tidak menderita sendirian”
lanjut Papa Dinda.Dinda menggeleng.“Enda nggak mau mama khawatir, Pa.
enda nggak mau bikin mama sedih” jawab Dinda.
“sayang, cepat atau
lambat mereka pasti tau. Waktumu tidak banyak, Nak! Lakukan yang
terbaik. Papa juga kangen sama kalian. Titip salam buat mama sama Kak
Agung ya, Nak! Papa harus kembali.Jaga diri ya sayang ya!” ujar Papa
Dinda. “papaaaa!!! Jangan tinggalin Endaa! Enda takut, Pa!” ujar Dinda
sambil terus mengejar papanya yang semakin menjauh.Tiba-tiba Dinda
terjatuh.
**
Perlahan Brenda membuka matanya.Yang pertama kali dilihatnya adalah,
Rendy.Ya, Rendy.Ia berdiri di samping, Dinda. Dinda segera duduk sambil
memegangi kepalanya yang terasa berat dan sakit.
“Din, jangan banyak
gerak dulu!Lo masih lemes” ujar Rendy sambil menahan tubuh Dinda.Dinda
mengangkat wajahnya.Ia menatap Rendy. Tiba-tiba setetes air mata jatuh
dari matanya. Ia langsung memeluk Rendy. “Ren.. papa…” Dinda tidak
melanjutkan kata-katanya.Ia merasa tidak kuat. Namun ia yakin, Rendy
pasti mengerti maksudnya.
Dan benar.Meski kaget, Rendy membalas pelukan Dinda.Ia mengusap
lembut rambut Dinda. “udah, Din. Yang kuat, oke? Gue yakin papa lo
jagain lo dari sana. Udah jangan nangis lagi.Gue di sini” ujar Rendy
lembut. Dinda menhentikan tangisnya dan melepaskan pelukannya lalu ia
mengangguk. Rendy pun tersenyum.
Sorry, Ren! Gue masih nggak bisa kasih tau ke lo rahasia terbesar
gue.Rahasia yang semua orang nggak tau termasuk mama. Kecuali..hanya
papa yang tau. Ya, hanya dia yang tau keadaanku sekarang.
**
“Widiiii..gue Cuma dapet 65 coyy!” “gue menang doonnggg. 75 euy”
suasana kelas sedang riuh.Bu Tetik guru Biologi sedang berhalangan
masuk. Tanpa komando, anak-anak di kelas ribut semau mereka. Ditambah
lagi hasil ulangan kimia baru saja dibagi.Tambah ributlah mereka. Tanya
sana dan Tanya sini.
Dinda mendengus kesal melihat nilai yang tertera di kertas
ulangannya. 90. Bukan nilai yang jelek. Namun ia yakin ia pasti kalah
dengan nilai Rendy. Rendy kan Raja Kimia. Sedangkan dirinya jago
Biologi. Lagi-lagi ia mendengus kesal.
“berapa?” Tanya Rendy
tiba-tiba.Spontan Dinda melipat kertasnya dan menggeleng.Rendy
menyentakkan tangan untuk mengambil kertasnya.Dengan cepat Dinda menarik
kertasnya lagi.Rendy tak mau kalah.Ia mengulurkan tangannya dan
menggelitik pinggang Dinda. Dinda berusaha menghindar. Saat ia lengah,
dengan cepat Rendy mengambil kertas itu.
Dinda yang menyadari kertasnya sudah berpindah tangan segera berusaha
mengambil kertasnya lagi.Rendy berlari menghindari Dinda.Dan Dinda
segera mengejarnya.Dan terjadilah aksi kejar-kejaran.
Ketika sedang asik kejar-kejaran.Tiba-tiba kaki Dinda seperti
tersandung sesautu.Sontak Dinda jatuh.Seluruh isi kelas spontan menoleh
kearah Dinda.Teman-teman ceweknya segera menhampiri dan menolongnya.
Ketika kepalanya diangkat darah segar mengalir keluar dari hidungnya.
Melihat itu, teman-temannya langsung memberikan pertolongan pertama.
Rendy yang kaget dengan keadaan Dinda segera menghampiri biang
kerok.Ya, dia mendatangi Jony.Ia yakin Jony yang menyebabkan Dinda
jatuh. Karena ia melihat kaki Jony terjulur keluar dari bangku. Tepat di
mana posisi Dinda jatuh.Ia sangat yakin ialah penyebab Dinda jatuh.
“mau
lo apa?” Tanya Rendy. Jony menoleh dengan tampang polos yang ingin
ditonjok.Jony mengernyitkan dahi. “nggak usah sok polos deh! Lo kan yang
bikin Dinda jatoh?!” ujar Rendy yang mulai berapi-api. “buktinya apa?”
ujar Jony tenang.
“liat kaki lo! Lo pikir buat apa kaki lo ada di
luar bangku begitu? Dan kaki lo tepat ada di posisi Dinda jatoh” ujar
Rendy.Jony pun berdiri. Seluruh kelas mendapatkan tontonan gratis!
“uppss~ gue lupa. Iya, gue yang nyebabin dia jatoh. Mau apa lo?
Tonjok?Ayo tonjok” ujar Jony.Rendy mengepalkan tangannya.
Ia sudah bersiap memberi tonjokan gratis pada Jony. Namun seseorang
menahan tangannya. Dinda. Ia berdiri di sebelah Rendy dengan tissue
menyumbat lubang hidungnya, dan memegang tangannya yang siap memukul
Jony. Dinda menggeleng pelan.Tak ada yang mengerti arti gelengan kepala
itu.Hanya Rendy yang tau.
“Tapi, Din!” ujar Rendy.Dinda menggeleng
lagi. “udahlah, Ren! Nggak ada gunanya main kekerasan.Biar gue yang
selesaiin” ujar Dinda.Ia lalu berbalik dan menatap Jony. Jony kaget
dengan tindakan Dinda.Dinda tersenyum. Sangat manis.
“makasih ya”
ujar Dinda. “hahaha. Sama-sama.Lagian lo bocah banget pake lari-larian
di kelas.Ya gue hentikan aja” jawab Jony. Rendy geram.Ia sudah siap
memukul Jony. Tapi Brenda menahannya.Rendy terpaksa diam. Memang, kalau
Dinda sudah bicara.Rendy hanya bisa diam. Hanya Dinda yang bisa meredam
emosi Rendy.
“iya gue tau. Makanya gue bilang makasih” ujar Dinda
sembari tersenyum lagi. “tapi, Jon! Kalo ngingetin lain kali caranya
yang lembut ya. Jangan begini.Liat tuh.Lantainya kotorkan kena darah
gue.Kasian nanti yang piket.Bersiinnya susah” lanjut Dinda. Untuk
kesekian kalinya ia tersenyum lagi. Ia lalu berbalik dan menarik tangan
Rendy. Rendy yang masih geram enggan untuk pergi.Dinda yang menyadari
hal itu menarik lagi tangan Rendy.Akhirnya mau tak mau Rendy mengikuti
Dinda pergi.
**
Bel pulang sudah berbunyi.Semua siswa-siswi sudah berhamburan
keluar.Dinda masih berada di tempatnya.Membereskan buku-buku ternyata
memerlukan waktu lama.Sedangkan Rendy hanya duduk dan melirik kesal
kearah Dinda.
Dinda yang rupanya sadar bahwa Rendy meliriknya dengan kesal segera
membuka percakapan. “lo jangan ngelirik gue kayak begitu. Gue tau lo
kesel gara-gara kejadian tadi siang.Udahlah. Toh gue juga nggak apa-apa”
ujarnya seraya memakai tas ranselnya.
“lagian lo! Udah dibikin
mimisan begitu masih aja baik! Hati lo terbuat dari apa sih?” ujar
Rendy. “nggak tau” jawab Dinda. “Tanya aja sama Tuhan” ujar Dinda lantas
nyengir. Mau tak mau Rendy tertawa juga. Dinda memang tau bagaimana
cara menyenangkan hatinya.
“oh ya. Nanti sore main ke rumah kan, ya?”
ujar Dinda sambil berdiri. “he’em” jawab Rendy singkat dan menyusul
Dinda yang sudah ada di depan kelas. Seperti biasa.Kali ini mereka
pulang bersama lagi.
**
Sore itu, Rendy menepati janjinya.Ia datang ke rumah Dinda hanya
membawa tas ransel. Rupanya mereka mau belajar bersama. Sebuah kebiasaan
lain dari pasangan Ren-Da. Cukup keren.
“Ren, ada kertas kan?” Tanya
Dinda. “bawa lah. Kenapa?” jawab Rendy. “minta” ujar Dinda singkat.
Tanpa ba-bi-bu Rendy menyerahkan selembar kertas pada Dinda.Dinda
mengambil bolpen dan menyerahkannya pada Rendy.Rendy terheran-heran.
“gue mau lo nulis sesuatu buat gue” ujar Dinda lalu tersenyum.
Rendy hanya mengangkat bahu. Kira-kira setengah jam mereka menulis
sesuatu di atas kertas itu. “udah nih” ujar Rendy. “itu buat lo” jawab
Dinda. “hah? Buat gue?Untuk apa?” jawab Rendy terheran-heran.Dinda hanya
tersenyum.Mau tak mau Rendy memasukkan kertas itu ke dalam
dompetnya.Dan merekapun kembali belajar. “sebentar lagi, lo pasti tau
maksud gue kok” ujar Dinda tiba-tiba. Rendy hanya diam.
**
Malam harinya-sekitar pukul9 malam-Rendy menelpon Dinda.Dinda yang
saat itu sudah setengah tertidur mengangkat ponselnya dengan
ogah-ogahan. “halo?” ujarya lemah. “hai, Din! Tidur ya?” ujar Rendy.
“hampir” jawab Dinda singkat.
“sorry.. gue…” kata-kata Rendy
menggantung. “iya gue tau. Lagi badmood kan? Ada apa?” rupanya Dinda
sudah tau kebiasaan Rendy. Jika sahabatnya itu bosan-badmood-pasti ia
akan menelpon. Diseberang, Rendy hanya nyengir. “tau aja lo” jawabnya.
Lantas, Rendy menceritakan rentetan kejadian yang membuatnya kesal.
Rendy menelpon lumayan lama.Sekarang sudah pukul 10 malam.Tapi Rendy
belum juga berhenti bercerita.Meski sudah sangat mengantuk, Dinda
berusaha menjadi pendengar yang baik bagi Rendy.Hingga akhirnya pukul
setengah 11 malam barulah Dinda bisa tidur.
**
Hari ini saat berangkat ke sekolah, Dinda merasa ada yang aneh pada
Rendy.Mungkin Rendy bersikap biasa-biasa saja. Tapi tetap saja, ia
merasa ada yang aneh. Terlihat dari sorot mata Rendy.Seperti ingin
meninggalkan sesuatu, namun berat.
Keanehan tidak berhenti di situ saja.Sampai pulangpun Dinda tetap
merasa aneh dengan Rendy.Namun Dinda menutupinya dari Rendy.“Ya
Tuhan.Apakah semua sudah dimulai?” ujar Dinda lirih.
Semakin hari keanehan Rendy semakin menjadi-jadi. Bahkan ia terkesan,
menjauh dari Dinda. Dinda benar-benar menyadarinya. Kini ia sendirian.
Benar-benar sendiri.Ia kembali kehilangan senyumnya yang dulu sempat ia
dapatkan kembali.
Rendy sudah tidak pernah menelponnya lagi.SMS saja tidak
pernah.Telpon dan SMS Dinda tak pernah digubrisnya.Dinda bingung.Ia
merasa tidak pernah melakukan kesalahan pada Rendy. Apa mungkin dia
kesal gara-gara insiden Joni? Tapi masa hanya gara-gara itu ia sampai
seperti ini? Lagian malamnya ia menlponku selama satu jam setengah.
Pikir Dinda dalam hati.
Hingga akhirnya suat hari ia mendapat berita yang cukup
mencengangkan. Ternyata tanpa sepengetahuannya, Rendy dan Serly-salah
satu cewek well loved di sekolah-sudah jadian selama 2minggu.Dan selama
itu pula Rendy meninggalkan Dinda.Tuhan, beri aku kekuatan. Ujar Dinda.
Suatu hari ia ingin menguji kejujuran Rendy. Ia menelpon Rendy. Ia
akan berpura-pura minta ditemani ke toko buku untuk cari buku Kimia. Itu
juga kalau Rendy mengangkat telponnya. Hah, semoga diangkat. Pikir
Dinda.
Tuutt-tuuutt.Terdengar nada sambung. “ayo angkat ayo angkat” ujar
Dinda. “halo?” suara itu! Ya Tuhan, sudah lama aku tidak mendengar suara
itu. “halo, Ren? Besok bisa temenin gue ke Gramed nggak?Gue pengen cari
buku Kimia nih” ujar Dinda memulai aksinya.
“gue ga bisa” jawab
Rendy singkat. “kenapa? Lo udah ada cewe ya? Pantes lo berubah” ujar
Dinda tetap tenang. “iya” jawab Rendy. “dan gue gak mau bikin cewe gue
cemburu karena gue deket sama lo” ujar Rendy sedikit membentak.
“lho?
Emang si Serly pernah bilang gitu?” ujar Dinda.Rendy tersentak.
Bagaimana Dinda tau kalau Serly yang..ahh sudahlah. “yaudah yang penting
gue gak bisa. Gue udah ada janji. Kalo lo nggak bisa Kimia, les aja!
Susah amat.Dah lah gue sibuk. Bye” Rendy tidak memberikan kesempatan
pada Dinda untuk berbicara dan langsung mematikan telpon.
Dinda hanya termenung sendiri.Apa yang ditakutkannya kini terjadi.
Ya, ia memang bukan siapa-siapa Rendy. Jadi jika sewaktu-waktu Rendy
punya jalan sendiri, ia harus siap melepasnya. Lagi pula kalau Rendy
senang ia juga senang. Dinda pun menangis.
**
Suatu hari saat istirahat tidak sengaja Dinda melihat Rendy duduk di
kelas dan menggambar di sebuah kertas. Dinda pun berlari kea rah kantin.
Bersamaan dengan perginya Dinda, Rendy juga keluar kelas.
Tak lama Dinda kembali.Untung saat itu Rendy masih di luar kelas.Ia
segera meletakkan sebungkus kantong plastik di meja Rendy. Lalu ia
bergegas keluar kelas. Tak lama Rendy masuk.Ia kaget melihat ada makanan
di mejanya. Pasti Serly, pikir Rendy. “tau saja dia kalau aku laper”
ujarnya lalu memakannya. Dinda yang melihatnya merasa senang. Walau ia
tau kalau Rendy pasti mengira itu dari Serly.
Ketika malam tiba, Dinda menuliskan sesuatu di buku hariannya.Buku
yang penuh dengan kisah hidupnya.Di dalam buku ini lah semua cerita
hidup Dinda ada.Tidak ada rahasia.Semuanya ada. Setelah selesai, ia
meletakkan buku itu di laci mejanya. Kemudian ia kembali menuliskan
sebuah surat.
**
“Rendy!!” Dinda berusaha mengejar Rendy.Dengan berat hati, Rendy
akhirnya membalikkan badan. “apa sih? Brisik banget deh.Malu tau!” ujar
Rendy ketus.Tiba-tiba kepala Dinda merasakan nyeri itu lagi.Tapi Dinda
tetap berusaha kuat.Ia menarik nafas panjang sebelum berbicara.
“Ren,
gue pengen lo simpen ini” ujar Dinda sambil menyodorkan buku diary nya.
“apaan nih?” ujar Rendy. “udah terima aja. Lo bakal tau nanti” ujar
Dinda lagi. “gue nggak butuh” ujar Rendy seraya meninggalkan Dinda.
Dinda tetap tersenyum.Sebelum Rendy pergi jauh.Ia berteriak. “makasih
ya Ren” untung saat itu di sekitar mereka masih agak sepi. Jadi tidak
ada yang mendengar.Rendy hanya berhenti sebentar lalu melanjutkan
berjalan. “apa-apaan sih tuh anak?! Hish” Rendy mendengus kesal.
Pulang sekolah, Dinda bergegas pulang. Sesampainya di rumah ia segera
berganti baju dan turun lagi. Pertama ia membantu mamanya membersihkan
rumah dan memasak. Kedua ia pergi membantu kakaknya mengerjakan tugas
skripsi. Cukup melelahkan.Dan yang terakhir, Dinda membagikan kue kukus
ke tetangga sekitar.Semua orang bingung melihat sikap Dinda yang aneh
itu.
“mama, sini deh” ujar Dinda. “apa?” jawab mamanya. “ma, besok
kalo aku pergi. Tolong kasih buku sama surat yang ada di meja ku ke
Rendy ya ma” ujar Dinda. “lho? Kenapa?Kamu kasih aja sendiri” ujar mama
Dinda.Dinda tersenyum lalu menggeleng halus.
“aku nggak bisa ma.
Nanti malem aku harus pergi.Jadi tolong mama kasih ya” ujar Dinda. “lho?
Lho? Mau pergi ke mana kamu?” Tanya mama Dinda heran. “udahlah. Kasih
aja ma” jawab Dinda.
Dinda lalu menghampiri Kak Agung. “kakaaakk!!! Aku minta maaf ya ka
kalo aku ada salah sama kakak.Kakak tau nggak? Dinda sayaaaannngggg
banget sama kakak” ujar Dinda sambil memeluk kakaknya.Kakaknya hanya
tersenyum. “aku bahagia punya kakak kayak kak Agung” ujarnya lagi.
Kemudian Dinda berlari memeluk mamanya. “ma, Dinda minta maaf ya kalo
Dinda ada salaah. Mama adalah mama paaliiiinnnggggg baaiiiiikkk. Dinda
sayang banget sama mama. Dinda bangga punya mama kayak mama Dinda” ujar
Dinda.
Setelah itu, ia berlari menuju kamarnya yang ada di atas. Sebelum
benar-benar sampai di atas, ia menoleh lagi. “oiya, mama sama kakak
dapet salam dari papa. Kak, titip mama ya” ujar Dinda. Ia lalu pergi ke
kamar tanpa menunggu jawaban mama dan kakaknya. Sedangkan di bawah, mama
dan kakak Dinda bingung.
Begitu sampai di kamar, tangis Dinda pecah.Ia menangis deras tanpa
suara. Setelah suasana hatinya cukup tenang, ia berdiri lalu melangkah
menuju mejanya. Ia mengambil buku hariannya dan menulis sesuatu lagi di
atasnya. Setelah ia menulis, ia tersenyum puas. Ia letakkan buku itu di
atas mejanya dengan amplop berisi surat di atas buku itu.
Ia menuju
tempat tidur, lalu berdoa. Belum sempat ia berbaring. Nyeri di kepalanya
datang lagi.Dan nyeri kali ini sangat amat sakit. Ia merasakan seusatu
keluar dari hidungnya. Ia memegang hidungnya. Darah segar menempel di
tangannya. Nafasnya sesak. Dinda roboh. Nafasnya memburu. Perlahan namun
pasti pandangannya kabur. Tak lama kemudian semuanya terlihat gelap.
**
Dinda terbangun.Ia kaget begitu melihat di mana ia berada sekarang.
Tempat ini lagi?Ujarnya.Tiba-tiba seseorang memegang pundaknya dari
belakang.Spontan Dinda meloncat kaget. Namun betapa senangnya dia begitu
ia melihat sosok papa nya.
“papaaa!!!” ujar Dinda lalu memeluk
papanya. “halo, Nak!” ujar papanya. Dinda melepaskan pelukannya.Ia
memandang papanya. Papanya mengangguk.Ia lalu memegang tangan Dinda.
Mereka berjalan dan terus berjalan kea rah sinar putih menyilaukan. Lama
kelamaan sosok mereka mengecil. Dan akhirnya menghilang di ujung pusat
sinar.
**
Sementara itu..
Tok tok tok. “Dinda, ayo bangun sayang! Udah siang” Mama Dinda
berusaha membangunkan Brenda. “sayang?” ujarnya lagi. Karen tidak
kunjung mendapat jawaban, akhirnya Mama Dinda memutuskan untuk masuk ke
kamar Dinda.
Mama Dinda terhenyak. Ia kaget mendapati anaknya tergeletak di lantai
dengan posisi miring. Ia segera menghampiri Dinda. “Nak bangun nak!
Kamu kenapa?” Tak ada jawaban. Dengan gemetar ia membalik tubuh Dinda.
Betapa kagetnya mama Dinda begitu melihat darah keluar dari hidung
Dinda. Segera ia memeriksa nafas Dinda. Seketika itu juga Mama Brenda
menutup mulut dengan tangan. “Dindaaaaaaa!!! Bangun sayaaangggg jangan
tinggalin mamaaaaaa” Mama Dinda histeris begitu mengetahui anaknya sudah
tak bernyawa.
**
Rendy menatap kosong rumah Dinda. Rumah yang dulu penuh canda tawa
nya bersama Dinda, kini penuh duka dan tangis. Terdengar isakan-isakan
dari dalam rumah. Termasuk isakan Mama Dinda. Perlahan, ia memasuki
rumah Dinda.
Rendy membeku. Perasaannya campur aduk. Ia tak mampu berjalan tak
mampu bicara. Kini di hadapannya terbujur kaku tubuh Dinda. Tubuh itu
kini dibalut gaun putih yang indah. Semakin memperlihatkan wajah manis
pemiliknya.
Rendy memberanikan menatap wajah Dinda. Wajah yang dulu selalu ceria
dan penuh tawa, kini pucat pasi. Namun satu yang tidak berubah. Seulas
senyum manis menghiasi wajah Dinda yang kaku dan dingin itu.
Tak lama kemudian Mama Dinda keluar. Ia mengenakan baju berkerah
warna hitam dan celana bahan hitam. Matanya terlihat sembab. Menunjukkan
kalau ia benar-benar tidak berhenti menangis.
Di belakangnya ada Kak Agung. Ia mengenakan kos hitam polos dan
celana jeans. Ia memegang tangan mama Dinda. Sepertinya ia menjaga Mama
Dinda agar tidak roboh. Memang, Mama Dinda terlihat begitu lemas.
“pagi,
tante” ujar Rendy seraya menyambut tangan Mama Brenda. “oh, Nak Rendy.
Tunggu ya, Nak!” setelah berkata, Mama Dinda pergi naik ke lantai atas.
Tak lama kemudian ia kembali dengan sebuah buku dan amplop yang
tertempel di atasnya. Rendy ingat. Itu adalah buku yang ingin diserahkan
Dinnda padanya kemarin. Ada apa ini? Pikirnya dalam hati.
“ini..apa
tante?” ujar Rendy seraya mendapat buku itu. Mama Dinda menggeleng
halus. “Dinda meminta tante untuk menyerahkan buku dan amplop itu ke
kamu. Tante nggak membacanya kok. Karena tante yakin, ada sesuatu yang
ingin disampaikan Dinda ke kamu” ujar Mama Dinda. Rendy hanya diam. Ia
menatap buku itu dengan perasaan risau.
**
Pemakaman Dinda sudah selesai. Rendy tetap berada di tempatnya. Duduk
bersila di dekat peristirahatan terakhir Dinda. Perlahan Rendy mengusap
batu nisan yang bertuliskan nama Dinda. Setetes air mata jatuh dari
mata Rendy.
“Din, kok lo tega sih sama gue? Kenapa lo tinggalin gue
duluan?” ujar Rendy lirih. Ia menunduk. Berusaha menelan kesedihannya.
Namun gagal. Kepergian Dinda begitu memukul perasaan Rendy. Tiba-tiba ia
teringat barang-barang peninggalan Dinda. Ia mengambil buku milik Dinda
beserta amplop dan secarik kertas dari dompetnya. Pertama ia ingin
membaca surat dari Dinda.
Dear, Rendy.
Apa kabar, Ren? Gue harap lo baik-baik aja. Ren,
gue pengen minta maaf kalo gue ada salah sama lo. Gue juga mau bilang
makasih. Makasih karena lo udah mau jadi sahabat gue selama 1taon. Lo
udah mau nemenin gue di saat gue butuh temen. Pertemuan kita di waktu
MOS gak akan pernah gue lupain. Lo sahabat terbaik gue, Ren! Oiya, gue
juga mau minta maaf karena gue udah nyembunyiin rahasia besar dari lo.
Lo akan tau setelah lo baca buku harian gue. Gue juga mau lo nepatin
janji lo di kertas yang wktu itu. Ren, gue yakin waktu lo baca ini gue
udah tidur. Tidur yang panjang. Dan meski kita sudah ada di dunia yang
berbeda, gue tetep anggep lo sahabat gue. Slamat tinggal, Billy. Jaga
diri baik-baik ya. Gue titip Mama, Kak Agung, sama Serly Gue sayang sama lo. God bless.
Rendy
melipat kembali surat itu dan memasukkan kembali ke dalam amplop. Ia
diam sejenak. Memandangi tempat Dinda tertidur sekarang. Ia menarik
nafas panjang lalu mulai membaca buku harian Dinda.
7 Agustus 2009Dear Diary. Hari ini adalah hari yang
kurang menyenangkan. Pertama, gue ketabrak mobil. Setelah kejadian itu
gue pingsan. Setelah itu gue Cuma denger suara bokap gue ngobrol sama
dokter. Gue sengaja nggak buka mata biar gue bisa denger kelanjutannya.
Dan lo tau apa, Ry? Kata dokter otak gue mengalami pergeseran. Sebagian
besar syarafnya rusak dan nggak bisa dipakai. Mungkin aku akan sering
sakit kepala. Bahkan hidupku nggak lama lagi. Setelah percakapan mereka
aku baru membuka mata. Dan meski dokter belum mengijinkanku pulang, aku
tetap memaksa papa untuk pulang. Dan jadilah aku pulang hari itu juga.
Tak ku sangka tak ku kira. Aku dan papa mengalami kecelakaan yang
menyebabkan papa meninggal. Setelah kejadian itu, aku berjanji tidak
akan menceritakan keadaanku kepada siapapun. Cukup papa saja yang tau.
Tuhan, beri aku kekuatan.
14 Oktober 2011Diarryyyy,
nyebelin banget deh hari ini. Masa penyakitku kambuh di depan Rendy?
Kan malu jadinya. Harus ngomong apa coba aku ke dia?? Huh! Oh iya, tadi
waktu pisang aku bermimpi bertemu papa. Papa menyuruhku menceritakan
keadaanku. Dan ia bilang waktuku tidak lama lagi. Apa maksudnya? Huh!
Tapi mungkin benar, belakangan ini aku begitu merindukan semuanya. Aku
rindu Rendy, Mama, Kak Agung, dan semuanya. Aku ingin bangun lebih pagi.
Dan tidur lebih larut. Bahkan aku ingin tidak tidur untuk menikmati
keindahan karya Tuhan. Ah, ada apa denganku? Tuhan, aku takut.
15 Oktober 2011Ry,
hari ini Rendy aneh. Gak bisa dijelasin sih. Pokoknya ada yang aneh
aja. Keliatan dari matanya. Huh, kayaknya apa yang aku takutin bakal
kejadian deh. God, give me strength.
29 Oktober 2011Ry,
aku dapet kabar. Ternyata Rendy udah pacaran sama Serly 2minggu. Dan
selama itu juga dia ngejauh dari aku. Aku maklum kok. Mungkin dia hanya
ingin menghormati ceweknya. Yah, dari dulu aku takut kalau Rendy punya
jalan sendiri dan ninggalin aku. Tapi toh aku bukan siapa-siapanya. Jadi
aku harus siap jika sewaktu-waktu hal itu terjadi. Rendy, gue gak marah
kok sama lo. Gue tau lo tertekan deket sama gue terus. Gue bahagia kalo
lo nemuin cinta lo. Gue tetep anggep lo sahabat terbaik gue.
30 Oktober 2011Ry, gue udah tau kabarnya dari mulut Rendy sendiri. Gue gak marah kok meski Rendy bentak gue. Gue tetep bahagia.
31 Oktober 2011Ry,
tadi Rendy kelaperan. Gue beliin makanan deh. Gue seneng dia mau makan.
Yah meski gue tau kalo dia ngira itu pasti dari Serly. Tapi gue udah
cukup seneng bisa melakukan sesuatu buat dia.
2 November 2011Semuanya sudah selesai
Rendy
menatap nanar buku harian Dinda. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Kini
ia ingin membaca kertas yang ia tulis bersama Brenda.
Beberapa peraturan yang harus gue turuti :
• Gue bakal selalu mengucap syukur pada Tuhan
• Menikmati segala berkatNya
• Tidak mudah emosional
• Taat pada orang tua
• Tetap semangat belajar untuk mencapai apa yang gue mau
• Menjaga Serly, Kak Agung, dan Mama Dinda
• Selalu mengingat Dinda sebagai sahabat gue
• Selalu tau bahwa Dinda sayang gue
• Tidak terus larut dalam kesedihan saat Dinda pergi
• Mengingat dirinya yang pergi dalam damai
Air
mata Rendy sudah tak terbendung lagi. Ia menangis sejadi-jadinya. Kini
ia mengerti arti isi surat itu. Ternyata Dinda sudah tau bahwa ia akan
pergi. Dan ia tetap ingin yang terbaik bagi dirinya. Tiba-tiba beberapa
lembar foto terjatuh dari buku harian Dinda. Rendy memungutnya.
Ia
kaget begitu melihat lembaran-lembaran foto itu. Itu adalah foto-foto
mereka bersama. Ada saat mereka bermain ke dufan dulu. Saat wisata ke
Jogja. Saat belajar di rumah. Semuanya terasa begitu indah saat itu.
Sangat indah.
Rendy tersenyum. Pandangannya beralih ke batu nisan
Dinda. Ia mengusapnya lagi. “lo tidur yang tenang ya, Din! Gue bakal
jaga orang-orang yang lo titipin ke gue. Jangan lupain gue ya di sono”
ujar Rendy. “gue juga sayang lo, Din!” ujar Rendy disertai air matanya.
Rendy bangkit berdiri. Ia beranjak pergi. Baru 3 langkah, ia
berbalik. “lo pasti denger gue kan, Din?” ujar Rendy sambil tersenyum.
Seketika itu ada angin. Angin yang begitu sejuk dan menenangkan. Dari
situ Rendy yakin, bahwa Dinda mendengar semua ucapannya. Dengan hati
lebih ringan ia berjalan pulang.
Slamat tinggal, Dinda! Sampai kapanpun lo tetep jadi sahabat gue da nada di hati gue